Jika Terlahir Miskin itu Bukan Salahmu, tapi Jika Meninggal dalam kemiskinan, Salah Siapa?

Jika Terlahir Miskin itu Bukan Salahmu, tapi Jika Meninggal dalam kemiskinan, Salah Siapa?

Judul tulisan saya kali ini kutip dari pepatah “Jika engkau terlahir miskin itu bukanlah salah mu, tapi jika kamu meninggal dalam keadaan miskin itu adalah salahmu”. Saya juga tidak tahu siapa yang membuat pernyataan itu tapi saya pribadi merasa memiliki pengertian yang mendalam (tak perlu saya jelaskan anda pun merasakannya bukan :) ). Perlu di tekankan juga kalau miskin yang dimaksud dalam konteks ini adalah bukan hanya materi, tapi yang lebih penting adalah moral, kepribadian.

Banyak yang factor yang membentuk diri seseorang, tapi yang mengambil kendali tentunya anda tahu siapa itu, diri kita sendiri! Ada inkripsi yang menarik di prasasti seorang uskup anglikan di Westminster Abbey (baca : http://en.wikipedia.org/wiki/Westminster_Abbey) saya terjermahkan kedalam bahasa Indonesia :

"Ketika saya masih muda dan bebas dan imajinasiku tidak memiliki batas, aku bermimpi untuk mengubah dunia. Saat aku tumbuh lebih dewasa dan bijaksana, saya menemukan dunia tidak akan berubah, jadi saya singkat penglihatan saya sedikit dan memutuskan untuk mengubah hanya negara saya .
Tapi, juga tampak tak tergoyahkan.
Saat aku tumbuh menjadi tahun saya senja, dalam satu upaya putus asa terakhir, aku menetap untuk hanya mengubah keluarga saya, orang-orang terdekat saya, tapi sayangnya, mereka akan tidak punya itu.
Dan sekarang, saat aku berbaring di ranjang kematianku, aku tiba-tiba menyadari: Jika saya hanya mengubah diri saya lebih dulu, kemudian dengan contoh saya akan berubah keluarga saya.
Dari inspirasi dan dorongan mereka, saya kemudian akan dapat lebih baik negara saya, dan siapa tahu, aku mungkin bahkan mengubah dunia. "

Sebagian besar dari kita, oops saya tidak mau melakukan generalisasi, maksud saya, saya sangat tersentil dengan kutipan inkripsi tersebut. Saya menginginkan lingkungan saya yang berubah, dan saya menganggap diri saya yang paling benar, tapi apakah “kesempurnaan” saya memang bermanfaat? Itu hanya dalam benak saya ternyata! Jangankan untuk orang lain, untuk diri sendiri bagaimana? Saya tak perlu menjelaskan faktor-faktor eksternal yang ada , karena saya menekankan tulisan ini dalam individu kita masing-masing. Untuk menjadi pemimpin hebat bukanlah dengan memaksakan kehendak kita atau dengan kekuasaan kita, tapi berilah pengaruh positif dan ketika kita menjadi panutan, dengan otomatis orang akan meneladani keputusan kita.

Penulis hebat tidak perlu pen yang mahal untuk menuliskan pikirannya diatas kertas, demikian juga kita, mungkin orang yang memiliki materi, saat ada batu besar di hadapannya, bisa dengan menghancurkannya, tapi walau kita tidak memiliki materi untuk menghancurkannya, kita bisa berjalan mengitari batu itu / memanjatnya. Untuk memperoleh kesuksesan tidak hanya terpatok modal dan kekuasaan yang kita, mungkin anak konglomerat atau anak pejabat akan lebih mudah memperolehnya, mereka punya materi, kita imbangi dengan strategi kita walau kita kalah dalam materi! Tapi apa yang sering kita lakukan ketika ada batu besar tersebut? Kita sering kali mundur dan tidak melanjutkan perjalanan kita.

Diatas materi adalah moral dan kepribadian kita, materi tidak sepenuhnya menjadi indicator kesuksesan, materi hanya bersifat sementara, hari ini kita memiliki usaha yang sukses, besok bisa saja kita melarat karena ditipu. Hari ini kita kelaparan karena tidak memiliki uang, bisa saja besok ada berkat yang tidak terduga. Banyak orang kaya yang sombong dan berlaku semena-mena, dan akhirnya jatuh kepada lubang kesombongannya sendiri. Karena hidup itu seperti roda, berputar kadang diatas kadang di bawah, pada saat kita di bawah tentu kita perlu yang diatas untuk membantu membuat kita naik, dan jangan sampai saat kita diatas karena keangkuhan kita malah dijatuhkan sekeliling kita!

Kutipan lain yang saya tidak tau siapa yang mengatakannya “ketika kau lahir ke dunia, engkau menangis dan orang sekeliling mu tertawa, dan ketika engkau di petimati, siapa kah yang akan menangis dan tertawa?”  Jika kita makmur, kaya, tapi hanya menjadi sandungan bagi orang sekitar kita, berarti kita tetap miskin! Apakah kehadiran kita di inginkan oleh orang lain? Atau saat kita datang maka orang lain pergi?  Apakah tindakan kita ada value untuk orang lain? Apa selalu merugikan sekitar kita?
Category: 3 komentar

Houtman Zainal Arifin - Dari OB jadi Vice President!

Sekitar tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.

Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.

Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.

Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (Citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.

Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.

Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai “ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.

Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.

Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.

Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.

Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.

Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.

19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak Citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi Citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.

Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli Citibank Asia Pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.

Category: 1 komentar